Memuat…
Administrasi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berencana untuk mengakui Crimea sebagai bagian dari wilayah Rusia. Langkah ini diambil sebagai bagian dari usulan untuk mengakhiri konflik antara Rusia dan Ukraina.
Crimea, yang sebelumnya merupakan bagian dari Ukraina, telah dikuasai Rusia sejak tahun 2014. Menurut pihak Moskow, wilayah tersebut memisahkan diri dari Ukraina setelah terjadinya “Kudeta Maidan 2014” yang didukung oleh negara-negara Barat dan kemudian bergabung dengan Rusia melalui sebuah referendum.
Namun, Kyiv dan para sekutu Baratnya tidak mengakui hasil referendum tersebut, dan menganggap Crimea sebagai wilayah yang dianeksasi oleh Rusia.
Selain Crimea, empat wilayah Ukraina lainnya—Donetsk dan Luhansk di timur, serta Kherson dan Zaporizhzhia di selatan—juga sebagian besar berada di bawah kendali Rusia sejak dimulainya invasi besar-besaran pada tahun 2022. Seperti Crimea, Moskow menyatakan bahwa empat wilayah tersebut juga telah memilih untuk bergabung dengan Rusia melalui referendum.
Sampai saat ini, belum ada tanggapan resmi dari
Kyiv mengenai laporan tentang rencana Trump untuk mengakui Crimea sebagai bagian dari Rusia. Namun, sepertinya laporan ini tidak akan diterima dengan baik oleh Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang sebelumnya menyatakan bahwa pemerintahnya tidak akan mengakui wilayah yang diduduki sebagai wilayah Rusia, menyebutnya sebagai “garis merah”.
“Wilayah-wilayah tersebut akan menjadi salah satu isu yang paling sensitif dan rumit dalam perundingan damai,” kata Zelensky, menambahkan, “Bagi kami, garis merahnya adalah pengakuan atas wilayah Ukraina yang diduduki sebagai bagian dari Rusia. Kami tidak akan melakukannya.”
Usulan dari AS untuk mengakhiri konflik juga mencakup penerapan gencatan senjata di sepanjang garis depan, menurut sumber pemerintah AS tersebut yang juga diwartakan oleh CNN. Kerangka ini telah dibagikan kepada pihak Eropa dan Ukraina di Paris, Prancis, pada hari Kamis, serta diinformasikan kepada Rusia melalui diskusi antara Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
.