Penyakit Parkinson (PD) adalah salah satu gangguan gerakan yang paling umum, terjadi akibat degenerasi pada ganglia basal di sel-sel substantia nigra pars compacta. Gejala utama penyakit ini mencakup tremor saat istirahat, kekakuan otot, gerakan lambat (bradikinesia), dan kesulitan menjaga keseimbangan. Pada tahun 2016, jumlah pasien PD di seluruh dunia mencapai 6,1 juta, meningkat 2,4 kali dibandingkan dengan 2,5 juta kasus pada tahun 1990. Diperkirakan prevalensi ini akan terus berkembang, mencapai sekitar 8,7 juta orang pada tahun 2030 seiring dengan bertambahnya populasi usia lanjut. Di Indonesia, ada sekitar 876.665 kasus dari total populasi 238.452.952 jiwa, menjadikan negara ini peringkat ke-12 secara global dan ke-5 di Asia dalam angka kematian terkait PD, dengan prevalensi 1.100 kematian pada tahun 2002.
Penyakit Parkinson umumnya menyebabkan disabilitas pada penderitanya, terutama disebabkan oleh gejala motorik. Untuk mengevaluasi perkembangan klinis PD, berbagai skala penilaian telah digunakan, termasuk Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (UPDRS), yang diakui secara internasional. Skala ini terdiri dari enam sub-skala: penilaian gangguan intelektual dan suasana hati (UPDRS I), aktivitas sehari-hari (UPDRS II), fungsi motorik (UPDRS III), komplikasi terapi (UPDRS IV), tahapan Hoehn dan Yahr (HY), serta skor aktivitas sehari-hari Schwab dan England (SE).
Ada beragam pengobatan tambahan yang diperkenalkan untuk penyakit Parkinson, termasuk penggunaan kafein. Penelitian pada model hewan seperti tikus dan mencit menunjukkan bahwa kafein dapat meredakan gejala PD serta meningkatkan efek terapi L-dopa, dengan sifat neuroprotektif yang mampu melindungi sel dopaminergik. Penelitian klinis lainnya juga menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam peningkatan fungsi motorik pasien PD setelah mengonsumsi kafein, termasuk peningkatan skor pada UPDRS III dan keseluruhan UPDRS serta perbaikan dalam gangguan gait akinesia. Namun, belum ada penelitian yang secara khusus mengevaluasi dampak kafein sebagai adjuvan pada populasi Indonesia, yang menekankan perlunya penelitian lebih lanjut dalam bidang ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek terapi adjuvan kafein (sebagai variabel independen) terhadap peningkatan keterampilan motorik pada pasien Parkinson, yang diukur melalui perubahan skor UPDRS III (sebagai variabel dependen). Kafein yang digunakan adalah kafein dengan grade farmasi dalam bentuk bubuk kristal anhidrat. Data lain, seperti informasi demografis pasien (usia dan jenis kelamin), profil klinis (komorbiditas, konsumsi obat, denyut jantung, dan tekanan darah), serta riwayat konsumsi minuman berkafein dicatat. Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan penggunaan obat juga dinilai sebagai variabel perancu dalam penelitian ini.
UPDRS III digunakan untuk mengevaluasi manifestasi gejala motorik peserta dan mencakup 14 kategori berbeda, seperti kemampuan berbicara, ekspresi wajah, tremor saat istirahat, kekakuan, koordinasi tangan, dan lainnya.
Kafein berfungsi sebagai neuromodulator yang bertindak sebagai antagonis reseptor adenosin-2A (A2A), yang memengaruhi aktifitas saraf di jalur striatopallidal. Reseptor ini, bersamaan dengan reseptor dopamin D2, dapat menghambat transmisi dopaminergik. Dengan adanya kafein, kadar cAMP dalam sel dan pelepasan GABA di globus pallidus menurun, sedangkan serotonin serta noradrenalin pada neuron striatopallidal meningkat, yang berpotensi meningkatkan kinerja motorik. Kafein juga dapat stimulasi reseptor dopamin D1 dan D2, meningkatkan pengambilan glutamat oleh astrosit dan menurunkan kadar glutamat pada sinapsis, yang secara keseluruhan dapat memperbaiki gejala motorik pada pasien PD. Selain itu, kafein dilaporkan dapat meningkatkan bioavailabilitas levodopa dan memperpanjang durasi efek klinisnya. Dampak klinis kafein bahkan dapat bertahan setelah kadar levodopa menurun, menunjukkan pentingnya interaksi antara kafein dan reseptor D2.
Penelitian ini menghadapi beberapa keterbatasan. Penelitian hanya dilakukan di dua rumah sakit di Jawa Timur dengan jumlah populasi yang relatif kecil, sehingga subjek yang terlibat mungkin tidak seluruhnya mewakili karakteristik pasien di wilayah yang lebih luas. Pemberian kafein hanya dilakukan selama tiga minggu, sehingga tidak memungkinkan penilaian efek samping jangka panjang dari konsumsi kafein. Selain itu, penelitian ini tidak melacak kadar kafein dalam darah peserta sebelum dan sesudah intervensi, padahal informasi ini dapat berguna untuk optimasi dosis, menjamin keselamatan pasien, dan menilai kepatuhan serta farmakokinetik. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi batasan ini. Walaupun demikian, penelitian ini merupakan uji klinis terkontrol acak (RCT) double-blind pertama yang mengevaluasi dampak tambahan kafein terhadap peningkatan kinerja motorik, khususnya di kalangan populasi Indonesia, dan memberikan wawasan penting mengenai dosis awal kafein yang dapat meningkatkan fungsi motorik pada pasien PD dengan efek samping yang minimal.
.