Salah satu gangguan kesehatan mental yang paling umum saat ini adalah gangguan depresi persisten, yang sebelumnya dikenal sebagai distimia. Ini adalah kondisi depresi kronis yang bisa berkisar dari tingkat ringan hingga berat, ditandai oleh perasaan tertekan hampir setiap hari selama periode minimal dua tahun.
Menurut informasi dari Antara, prevalensi gangguan depresi persisten di seluruh dunia diperkirakan antara satu hingga enam persen.
Penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) menunjukkan bahwa umumnya, wanita lebih berisiko mengalami gangguan ini. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis. Gangguan depresi persisten cukup berbahaya bagi kesehatan jika tidak segera ditangani.
Berikut adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan depresi persisten yang perlu diperhatikan:
1. Faktor genetik atau riwayat keluarga
Individu yang memiliki anggota keluarga dekat, seperti orang tua atau saudara kandung, yang pernah mengalami depresi atau gangguan mood lainnya, berisiko lebih tinggi mengembangkan distimia. Ini menunjukkan bahwa ada peran kerentanan genetik dalam kondisi ini.
2. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Neurotransmitter adalah zat kimia di otak yang berfungsi mengatur suasana hati, tidur, nafsu makan, dan fungsi kognitif. Gangguan depresi, termasuk distimia, sering berkaitan dengan ketidakseimbangan kadar neurotransmitter seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
3. Perubahan struktur dan fungsi otak
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan depresi kronis mungkin memiliki perbedaan dalam struktur dan fungsi otak, terutama di bagian yang berperan dalam regulasi emosi, seperti amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal.
4. Faktor traumatis
Pengalaman traumatis di masa kecil, seperti kekerasan fisik, emosional, atau seksual, penelantaran, atau kehilangan orang tua, dapat meningkatkan kemungkinan mengembangkan depresi kronis di kemudian hari.
5. Kondisi medis lainnya
Kondisi medis tertentu juga dapat berkontribusi terhadap risiko depresi. Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, atau HIV/AIDS dapat menyebabkan rasa sakit, kelelahan, disabilitas, dan perubahan gaya hidup yang signifikan, yang semuanya dapat meningkatkan risiko depresi.
Obat apa saja yang efektif untuk mengatasi gangguan depresi persisten?
PAFI telah melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab gangguan depresi persisten, yang sering dialami oleh wanita. Berikut adalah beberapa jenis obat umum yang digunakan untuk mengurangi gejala gangguan ini dan membantu dalam mengelola kondisi tersebut:
1. Obat SSRIs
Obat-obatan ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi serotonin di otak, sehingga meningkatkan kadar serotonin yang tersedia. SSRI sering menjadi pilihan pertama karena biasanya memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan dengan jenis antidepresan lainnya. Beberapa contoh obat yang bisa diresepkan adalah fluoxetine, sertraline, dan citalopram.
2. Obat antidepresan trisiklik
Obat ini menghambat reabsorpsi serotonin dan norepinefrin, serta mempengaruhi neurotransmitter lainnya seperti histamin dan asetilkolin. Obat seperti amitriptyline, nortriptyline, dan imipramine dapat diresepkan dan dapat dikonsumsi oleh anak-anak.
3. Obat antidepresan
Beberapa merek obat antidepresan yang tersedia antara lain fridep, sandepril, kalxetin, depram, dan sertraline. Obat-obat ini sering digunakan untuk mengatasi insomnia yang menyertai depresi.
Sebagai tambahan pengobatan, penting untuk mempertimbangkan psikoterapi atau terapi bicara. Psikoterapi melibatkan diskusi dengan seorang terapis untuk membantu individu memahami dan mengatasi masalah emosional serta perilaku mereka. Selalu konsultasikan dengan apoteker untuk mendapatkan rekomendasi obat dan dosis yang sesuai dengan kebutuhan. (ant/nis/bil)
.