Struktur pendukung gigi dapat terpengaruh oleh penyakit periodontal yang disebabkan oleh aktivitas bakteri, ditandai oleh peradangan seperti gingivitis dan periodontitis. Periodontitis adalah infeksi pada jaringan periodontal yang menyebabkan hilangnya perlekatan ligamen periodontal dan tulang alveolar, berbeda dengan gingivitis yang hanya melibatkan peradangan pada jaringan gusi. Menurut data dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, prevalensi gingivitis di Indonesia mencapai 96,58%, sedangkan prevalensi periodontitis berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun yang sama adalah 67,8%.
Penyakit periodontal terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan antara biofilm di mulut dan respons tubuh, serta dipengaruhi oleh faktor predisposisi lainnya seperti kondisi kesehatan sistemik, kebersihan mulut, usia, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok. Penumpukan plak yang berkelanjutan mengakibatkan peradangan pada jaringan gusi. Aktivitas bakteri di dalam sulkus gusi dapat memicu respons seluler dan molekuler dari tubuh. Produk toksik yang dihasilkan oleh bakteri menyebabkan peradangan berkepanjangan yang berdampak pada tulang alveolar dan ligamen periodontal, mengurangi perlekatan klinis jaringan periodontal. Hal ini mengakibatkan pasien mengalami gigi yang goyang, kesulitan saat mengunyah, dan rasa nyeri. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi hingga kehilangan gigi, yang dapat mengganggu proses pengunyahan dan menurunkan kualitas hidup pasien.
Pada tahap awal, penyakit periodontal dapat diobati dengan menggunakan obat antimikroba, yang bertujuan untuk menghilangkan bakteri patogen di rongga mulut dan mengurangi peradangan. Salah satu antimikroba yang sering digunakan adalah 0,2% Chlorhexidin Gluconate. Chlorhexidin Gluconate (CHX) merupakan antimikroba dengan pH netral antara 5-7 yang larut dalam air liur, berfungsi dengan merubah permeabilitas membran sel bakteri. CHX mampu memberikan efek bakteriostatik dengan mempengaruhi mobilitas ion Ca2+ dan Mg2+, serta menyebabkan kehilangan ion K+ pada dinding sel. Namun, penggunaan CHX dalam jangka panjang dapat menyebabkan beberapa efek samping seperti luka pada mukosa mulut, kerusakan pada gigi, perubahan warna gigi dan lidah yang kecokelatan, serta mulut kering (xerostomia).
Untuk meningkatkan efektivitas antimikroba dan meminimalkan efek samping, saat ini sedang dikembangkan terapi baru dengan memanfaatkan bahan herbal. Salah satu bahan herbal yang dikembangkan adalah ekstrak Ocimum sanctum yang berfungsi sebagai terapi tambahan untuk penyakit periodontal. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Ocimum sanctum telah digunakan dalam pengobatan berbagai gangguan di rongga mulut dan tenggorokan, sistem kardiovaskular, pencernaan, ginjal, dan sistem lainnya. Penelitian farmakologi juga menunjukkan bahwa Ocimum sanctum memiliki sifat antibakteri, antioksidan, dan anti-inflamasi.
Ocimum sanctum mengandung berbagai komponen utama dalam minyak atsiri, termasuk eugenol, caryophyllene, clemene, dan germarene-A. Semua komponen ini mampu meningkatkan aktivitas antimikroba dan mengendalikan bakteri patogen dalam jaringan periodontal, terutama dalam pengendalian biofilm oleh spesies seperti Streptococci, Lactobacilli, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, dan Porphyromonas gingivalis. Kandungan yang terdapat dalam Ocimum sanctum menunjukkan aktivitas antimikroba yang kuat dan luas, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan tambahan pada gingivitis dan periodontitis.
Penulis : Anis Irmawati
.