Di Jepang, Danau yang Tak Membeku dan Ketidakhadiran Tuhan Menghadirkan Peringatan Kuno

Selama lebih dari enam abad, masyarakat di sekitar Danau Suwa di pegunungan Jepang tengah telah merasakan kehadiran musim dingin melalui perayaan fenomena alam yang dianggap sebagai jejak dewa yang berkeliaran. Fenomena ini hanya muncul setelah suhu yang sangat dingin membekukan danau, menciptakan lapisan es yang tebal dan putih. Suara gemuruh yang terdengar di malam hari biasanya menandakan kedatangan fenomena tersebut, dan saat fajar tiba, punggung es yang panjang dan berkelok-kelok akan terlihat, menggambarkan sosok naga yang berbondong-bondong di permukaan danau. Punggung es ini, yang dikenal sebagai Miwatari, dianggap sebagai penyeberangan suci yang berasal dari kepercayaan Shinto. Kemunculannya mengundang rasa kagum dan ketenangan, mendorong penduduk untuk menjelajahi es demi menghormati kunjungan alam gaib.

Namun, pada musim dingin yang jarang terjadi ketika Miwatari tidak muncul, ketidakhadirannya dianggap sebagai tanda bahwa keseimbangan alam telah terganggu. Penduduk dengan seksama mencatat keberadaan Miwatari serta kondisi dan peristiwa terkait yang menyertainya, dan sejak 1443, mereka telah menciptakan arsip yang luar biasa—mencerminikan ratusan tahun musim dingin yang dingin dan monoton. Tapi, dalam tujuh musim dingin terakhir, Miwatari tidak muncul sama sekali karena danau tidak membeku. Hal ini menjadi masalah karena fenomena serupa hanya tercatat berlangsung sebelumnya sekali, lebih dari 500 tahun lalu. Dalam 25 tahun terakhir, Danau Suwa hanya sepenuhnya membeku selama tujuh tahun, dan selama 18 tahun terakhir, danau itu mengalami apa yang lokal sebut sebagai “laut terbuka.”

Kiyoshi Miyasaka, imam agung Kuil Yatsurugi yang telah melestarikan catatan ini selama lebih dari tiga abad, berpendapat bahwa hilangnya punggung es ini disebabkan oleh perubahan iklim global. “Dulu, laut terbuka dianggap sebagai tanda buruk,” ujarnya di tengah struktur kuil tradisional yang terletak tidak jauh dari danau. Setiap pagi di bulan Januari dan Februari, ia dan para jemaat berkumpul untuk memeriksa apakah dewa telah melintas, namun mereka hanya menemui kekecewaan. Hanya para jemaat berusia lanjut yang masih mengingat saat Miwatari muncul dengan suara gemuruh yang membangunkan mereka di malam hari. “Dulu, punggung es bisa setinggi saya,” kata Isao Nakazawa, seorang pensiunan pekerja otomotif. “Kami tahu saat itu muncul karena suaranya seperti beduk taiko, ‘Gon-gon-gon!’”

Kini, makna religius Miwatari mulai memudar. Warga kota Suwa, yang terletak di tepi danau, kini melihatnya sebagai ritual musiman. Walikota Yukari Kaneko turut serta dalam pertemuan pagi yang dingin di tepi danau, menekankan pentingnya melanjutkan tradisi ini sebagai pengikat komunitas. Dia juga memperingatkan bahwa kondisi saat ini adalah panggilan untuk merenungkan kembali cara hidup mereka.

Penjelasan ilmiah telah mengungkap bagaimana punggung es terbentuk. Ketika danau membeku, permukaannya mengeras menjadi lempeng yang luas. Dalam kondisi yang sangat dingin, es menyusut dan membentuk retakan yang terisi air danau yang membeku. Ketika suhu naik, lempeng ini kembali mengembang, menyebabkan es baru terdorong ke atas, membentuk gundukan. Fenomena serupa juga terjadi di tempat lain, seperti Danau Mendota di Wisconsin; namun, catatan tentang Miwatari sangat unik karena kedetailan dan kontinuansinya.

Seorang profesor sejarah lingkungan, Dagomar Degroot, menyebut kronik ini sebagai warisan budaya yang mungkin akan hilang. Meskipun Kiyoshi Miyasaka merasa sedih dengan hilangnya Miwatari, ia bertekad untuk terus memperbarui arsip tersebut. “Kami tidak bisa menghentikan sesuatu yang telah ada selama lebih dari 580 tahun,” ujarnya. Para jemaatnya berkomitmen untuk tetap bergabung dalam memeriksa danau di pagi hari musim dingin.

Baik Miyasaka maupun jemaatnya tidak percaya bahwa mereka benar-benar ditinggalkan dewa. Jepang telah menjadi semakin sekuler, dan tidak ada yang tahu dewa mana yang seharusnya menyeberang danau. Catatan kuno tidak menyebutkan nama, dan Shinto sendiri adalah animisme yang menghormati banyak dewa. Beberapa cerita modern mengisahkan tentang dewa laki-laki yang melintasi danau untuk mengunjungi istrinya, tetapi Miyasaka berpendapat bahwa ini hanyalah daya tarik bagi para wisatawan. Di tengah perubahan ini, seakan-akan kata “Miwatari” pun diubah sedikit untuk terdengar lebih modern.

Miyasaka telah mempelajari setiap entri dalam arsip termasuk yang tertua yang kini disimpan di museum. Setiap halaman ditulis dengan tangan dan mencatat pola kemunculan Miwatari. Selama abad ke-17, fenomena ini hanya dua kali gagal muncul. Ia ingat momen ketika ayahnya mengajarnya cara melakukan upacara untuk menghormati Miwatari, sebuah ritual yang kini hanya dilaksanakan sembilan kali dalam beberapa dekade terakhir. “Nenek moyang kita tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan menyaksikan hal-hal seperti ini,” kata Miyasaka. “Kronik ini telah menjadi pengingat akan pemanasan global.”

.

Updated: 28 Maret 2025 — 5:14 am

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *