Jakarta, CNBC Indonesia – Negara-negara Eropa kini menghadapi tantangan terkait keamanan energi. Hal ini terjadi akibat ketegangan yang ditimbulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, meski sebelumnya ia telah berkontribusi bagi Eropa di masa krisis energi 2022-2023.
Menurut laporan Reuters pada 14 April 2025, keamanan energi Eropa terganggu akibat invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung lebih dari tiga tahun, di mana gas alam cair dari AS berhasil mengisi kekosongan pasokan gas Rusia di Eropa selama krisis tersebut.
Namun kini, Trump menggunakan sektor energi sebagai alat negosiasi dalam perdagangan dengan Eropa, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku bisnis tentang ketergantungan pada minyak dari AS yang bisa menjadi titik lemah baru.
Di tengah situasi ini, para eksekutif perusahaan besar di Uni Eropa mulai mempertimbangkan kembali langkah yang tidak terpikirkan setahun lalu: mengimpor gas dari Rusia, termasuk dari raksasa energi Gazprom, yang mungkin kini dipandang sebagai pilihan.
Langkah tersebut memerlukan perubahan kebijakan yang signifikan mengingat Uni Eropa telah berkomitmen untuk mengakhiri ketergantungan energi dari Rusia pada tahun 2027 setelah invasi ke Ukraina.
Eropa memiliki opsi yang terbatas. Diskusi dengan Qatar mengenai peningkatan pasokan gas telah terhenti, dan meskipun transisi ke energi terbarukan berjalan, laju tersebut belum cukup untuk mencapai rasa aman yang diinginkan Uni Eropa.
Didier Holleaux, wakil presiden eksekutif Engie Prancis, menyatakan, “Jika ada perdamaian yang layak di Ukraina, kita dapat kembali mendapatkan pasokan sekitar 60 hingga 70 miliar meter kubik gas per tahun, termasuk LNG.”
Prancis memiliki saham di Engie, yang sebelumnya merupakan salah satu pembeli terbesar gas dari Gazprom. Holleaux menambahkan bahwa Rusia dapat menyediakan sekitar 20-25% dari kebutuhan energi UE, turun dari 40% sebelum konflik.
Patrick Pouyanne, CEO TotalEnergies, juga mengingatkan agar Eropa tidak terlalu tergantung pada gas dari AS.
“Kita perlu melakukan diversifikasi, menjelajahi berbagai rute, dan tidak bergantung pada satu atau dua sumber saja,” kata Pouyanne. Total adalah eksportir LNG besar dari AS dan juga menjual LNG dari perusahaan swasta Rusia, Novatek.
“Eropa tidak akan kembali mengimpor 150 miliar meter kubik dari Rusia seperti sebelum perang, tetapi saya berani bertaruh mungkin sekitar 70 bcm,” ungkap Pouyanne.
Pada tahun lalu, gas dari AS menyumbang 16,7% dari total impor UE, berada di bawah Norwegia yang mencatatkan 33,6% dan Rusia 18,8%. Tahun ini, pangsa Rusia diprediksi akan turun di bawah 10% setelah jaringan pipa Ukraina ditutup, dan aliran yang tersisa sebagian besar merupakan LNG dari Novatek.
UE bersiap untuk meningkatkan pembelian LNG dari AS, seiring dengan tekanan dari Trump untuk mengurangi surplus perdagangan Eropa dengan AS.
“Pasti kita akan memerlukan lebih banyak LNG,” ungkap Komisaris Perdagangan UE, Maros Sefcovic, pekan lalu.
Ketegangan perdagangan semakin membangkitkan kekhawatiran tentang ketergantungan Eropa kepada gas AS, menurut Tatiana Mitrova, peneliti di Pusat Kebijakan Energi Global Universitas Columbia. “Semakin sulit untuk mempertimbangkan LNG AS sebagai komoditas yang netral; pada titik tertentu, LNG AS bisa menjadi alat geopolitik.”
Jika ketegangan perdagangan meningkat, ada kemungkinan Amerika Serikat akan membatasi ekspor LNG, menurut Arne Lohmann Rasmussen, kepala analis di Global Risk Management.
Seorang diplomat senior Uni Eropa yang tak ingin diungkapkan identitasnya sepakat bahwa pengaruh tersebut mungkin akan dimanfaatkan.
Jika harga gas domestik AS melonjak karena permintaan industri dan penggunaan AI, AS mungkin dapat membatasi ekspor ke pasar lainnya, menurut Warren Patterson, kepala strategi komoditas di ING.
Pada tahun 2022, Uni Eropa menetapkan tujuan tidak mengikat untuk mengakhiri impor gas Rusia pada tahun 2027, tetapi telah dua kali menunda pengumuman tentang cara mencapainya.
(luc/luc)
Artikel Selanjutnya
Malapetaka Baru Ancam Eropa? Ukraina Resmi Putus Aliran Gas Rusia
.